TABUNG UNTUK FIKRI
TANTANGAN MENULIS 30 HARI
Tulisan ke-10
Oleh : Inayah Hanum
“Tolong,
Bapak dan Ibu anak saya jangan dikerubuti seperti ini.” Pintaku pada mereka keluarga pengantar pasien juga.
Tetiba hatiku begitu nelangsa saat tiba di ruang Hemodialisa (HD). Hati terasa
lebih teriris saat ada beberapa orang yang spontan menunjukkan simpati dan
empatinya dengan memberikan lembaran 20 ribuan bahkan ada yang 50 ribuan pada
anakku. Air mataku tak mampu kubendung lagi.
Ramadan telah tiba.Fikri putra sulungku
sudah belajar berpuasa walaupun baru sampai setengah hari. Hari pertama dan kedua tampak biasa dan terlihat kuat
menahan haus dan lapar. Hari ketiga dan
keempat masih semangat. Hari kelima dan keenam mulai terlihat lemas dan senang berbaring di lantai tanpa alas.
Keesokkan harinya Fikri sakit. Diagnosa
dokter dia sakit malaria. Umur 2,5 tahun dia memang pernah terkena gejala
malaria. Dan kali ini penyakit itu bangun dari tidur panjangnya.
Satu pekan berlalu tidak tampak
perubahan yang diharapkan . Fikri malah terlihat tak berdaya, “Sudah satu pekan
minum obatnya seharusnya anak ini sudah lebih segar, Bu.” Kata dokter spesialis
anak saat Fikri berobat ke kliniknya. Setelah lebih intensif diperiksa dokter
bermata sipit itu melanjutkan perkataannya, “Anaknya layu, Bu. Dirawat saja
ya?” Kulirik Fikri duduk sambil menyandarkan kepalanya seolah lehernya tak
mampu lagi menopang kepalanya.
Akhirnya Fikri dibawa ke rumah sakit umum di daerahku. Sementara Fikri
diletakkan di bangsal karena kamar lain penuh. Di ruang ini hanya ada dua kamar
mandi. Jika ingin buang air kecil Fikri
masih mampu berjalan sendiri ke kamar kecil. Hari ketiga aku merasa aneh, urine Fikri terlihat
berwarna kemerahan. Untuk meyakinkan
diri sampai-sampai urinenya kutampung
ditanganku. Tidak ada wadah yang bisa digunakan waktu itu. “Mungkin suplemen yang dia minum, Bu”
jawab dokter saat aku bertanya perihal warna urine itu.
Saat visit dokter pagi hari urine Fikri aku tampung ke botol bekas air mineral.
Baru sehari pindah ke kamar sesuai jatah kami warna urine malah menghitam. Saat
dibuang ke kloset urine hitam itu memunculkan semburat merah seperti bercampur
darah.
Kening dokter terlihat berkerut saat kusodorkan botol bekas air mineral yang
telah berisi urine itu. Mungkin beliau baru kali ini mendapati kasus pasien seperti ini. Lalu Fikri
diambil sampel darahnya untuk diperiksa lebih lanjut. Hasil lab sangat mengejutkan.
“Ureumnya 255. Ini kalau orang dewasa sudah harus cuci darah, Bu. Kejutan
untukku masih terus berlanjut. Fikri harus dirujuk ke kota. Ternyata hasil cek
laboratorium di tempat lain menunjukkan hasil yang nyaris sama.
Fikri tetap harus cuci darah. Dan alat cuci darah hanya ada di rumah
sakit provinsi. Aku dan suamiku kemudian bergegas mengemasi barang-barang yang
akan kami bawa ke rumah sakit rujukan.
Kami menuju rumah sakit swasta
yangdirekomendasikan tenaga kesehatan di rumah sakit asal. Sambil mengubungi
teman untuk mengupayakan golongan darah yang sama dengan Fikri karena HBnya
terlalu rendah. Di sana juga menyediakan
fasilitas jaminan kesehatan yang sama. Berharap di sana Fikri bisa mendaptkan
penanganan yang cepat. Dokter spesialis anak yang merawat Fikri berusaha
meyakinkan bahwa beliau akan melakukan
yang terbaik. Walau pada akhir kalimat beliau membuatku merasa kecewa. Di rumah sakit itu ternyata
belum ada alat cuci darah. Tapi dokter berusaha menenangkan hatiku. Aku yakin ini
sudah skenario dari sutradara Yang Maha Tahu
segalanya.
Hari pertama di rumah sakit rujukan warna urine belum berubah bahkan kotorannya
pun berwarna hitam seperti bayi baru lahir. “Anak Ibu pendarahan hebat”, kata dokter berhidung mancung seperti
keturunan Arab itu.
Hari kempat warna urin sudah berubah keruh. Dokter memintaku menampung urine
Fikri di sebuah tabung kecil yang ada angka ukurannya.
Hari kelima urine Fikri masih keruh. Dokter memanggilku memberitahu bahwa tidak bisa ditunda lagi Fikri harus
dirujuk ke rumah sakit pemerintah yang ada alat hemodialisanya. Kami pun
diantar dengan mobil ambulan. Begitu berkecamuk rasa hatiku. Betanya –tanya
apakah keputusan yang kuambil ini tepat? Banyak teman lain yang menyarankan
jangan cuci darah karena nanti
ketergantungan. Sementara aku menyaksikan anakku terkapar tak berdaya bahkan
membengkak seluruh tubuhnya. Menangis hampir setiap saat. Berbagai upaya aku
menenangkannya agar ia sabar menjalani sakitnya. Entah paham atau tidak.
Kehadiran wali kelasnya tampak menambah semangatnya. Mungkin dia rindu sekolah.
Bismillah. Aku yakin dengan keputusanku. Fikri harus cuci darah. Sambil
berharap ada keajaiban yang akan datang. Suamiku begitu terpukul merasakan
penderitaan anaknya. Seandainya boleh bertukar posisi. Seperti ayahku yang tak
pernah melihatnya menangis. Kali ini suamikupun menangis. Aku memaklumi
keresahan hatinya. Tubuhnya pun tidak sedang baik-baik saja. Proses penyembuhan usus buntunya terganggu.
Makanan yang masuk ke perutnya tidak lagi standar untuk penyembuhannya.
Tengah malam harus ke PMI yang jaraknya lumayan jauh dari rumah sakit sebelumnya, berjalan kaki demi darah untuk anakku. Tengah malam
tidak ada ojek dan angkot yang beroperasi. Resiko tidak membawa kendaraan
sendiri.
Di rumah sakit pemerintah ini Fikri dijadwalkan dua kali seminggu cuci darah,
Selasa dan Jumat. Tibalah hari Selasa. Aku harap-harap cemas, campur aduk yang
kurasakan. Berharap ini adalah ikhtiar kesembuhan Fikri tapi di sisi lain cemas akan berhasil atau
tidak. Sambil mengiringi di belakangnya perawat ruangan mengantarkan Fikri ke
ruang HD. Menuju ke sana banyak mata yang menatap aneh. Hingga berdatanganlah mereka
mengerumuni anakku. Bocah usia 7 tahun yang akan cuci darah. Pemandangan yang
tak biasa. Rata-rata pasien cuci darah itu dewasa dan orangt tua.
“Ibu harus kuat, jangan nangis supaya anaknya juga kuat” kata perawat ruang HD menyadarkanku. Kemudian aku
menguatkan diriku demi Fikri. Perawat juga tak bisa menutupi
kegundahannya, Aku dengar dia berkata
lirih saat hendak menusukkan jarum, “Gak tega saya, Bu.” Rupanya memang baru
kali itu ada anak kecil cuci darah. Tapi karena sudah mejadi tugasnya dia harus melakukannya. Satu jarum ditusukkan
ke bagian selangkangan sebelah kiri dan satu jaru lagi ke bagian kaki. Diantara
kedua jarum itu terhubung dengan selang, alat cuci darah dan cairan bening di wadah derigen entah cairan apa.
Cuci darah pertama berlangsung selama 2
jam. Beberapa menit sesudah kembali ke ruangan tiba-tiba Fikri merasa basah
celananya. Kupikir dia ngompol. Saat kulihat betapa terkejutnya aku ternyata
bukan air yang tampak tapi darah yang telah membasahi celana dan sprei.
Setengah berlari aku paggil perawat ke ruangannya. Pembuluh darah besar di
selangkannya kembali terbuka sehingga keluarlah darahnya. Alhamdullah, tak lama
setelah ditangani perawat darah telah berhenti mengalir.
Setelah cuci darah yang
pertama tubuh Fikri yang sempat membengkak mulai berkurang. Tiga hari kemudian
kembali Fikri harus cuci darah.
Cuci darah yang kedua aku hanya ditemani
adik laki-lakiku karena suamiku sudah tak mampu bertahan. Beliau tumbang lagi
dan dirawat di rumah. Fikri digendong omnya menuju ruang HD. Saat sudah siap di
atas pembaringan perawat datang menghampiri sambil berkata “Ini tabung khusus
untuk Fikri dari Jakarta.” Sontak aku terkejut melihat nama FIKRI telah
tertulis di tabung kecil itu. Hatiku menjerit apakah benar Fikri harus cuci
darah seumur hidup? Rupanya tabung itu sudah lama ada dan memang khusus untuk
anak-anak. Dan Fikri adalah pasien pertama .Fikri tetap menangis saat HD
kedua dan merasakan pegal seluruh
tubuhnya.
Menjelang Idul Fitri hampir semua pasien di gedung tempat anakku dirawat minta
pulang. Mereka ingin berlebaran di rumah bersama keluarga. Aku tak berani ambil
resiko. Malam takbir begitu sepi hanya
tinggal 3 pasien di gedung besar itu.
Libur Idul Fitri telah usai. Dokter kembali visit. Aktifitas di rumah sakit
kembali seperti biasa. Tapi aku harus puang dulu ke kampungku karena anak
keduaku juga sedang diopname di rumah
sakit. Sebagai ibu aku juga dibutuhkan di sana. Mbah uti dan budenya yang kutitipi putriku tak
bisa menggantikan peranku. Qonita menangis hampir tiap hari memnggilku. Hati
ibu mana yang takkan berkecamuk kedua anaknya sakit di tempat
berjauhan.terpaksa Fikri ditunggui om dan pakdenya. Terima kasihku terhingga pada keluarga besarku.
Sehari kemudian aku kembali menemani Fikri. Darahnya dicek lagi dan hasilnya
ureum masih diangka 98. Fikri harus cuci darah yang ketiga.Aku sudah
benar-benar tak tega karena Fikri sudah lelah setiaip tiga hari sekali pindah
jarum infus.Tubuhnya tak lagi bengkak
tapi tinggal kulit membalut tulang. Rambutnya mudah tercerabut. Warna kulitnya
pucat menghitam. Aku beranikan diri untuk memohon izin pada dokter untuk membawa pulang Fikri
sementara. Berharap ada perubahan suasana hatinya sehingga tumbuh semangat lagi
untuk ikhtiar kesembuhannya.
Alhamdulillah, dokter mengizinkan Fikri pulang. Tapi harus cuci darah dari
rumah. “Senin ke sini lagi ya untuk cuci darah” kata perawat menyampaikan pesan
dokter. Aku hanya mengangguk. Di balik itu aku merasakan ada harapan kesembuhan
untuk Fikri. Terima kasih untuk keluarga, teman
yang sudah banyak membantu kami. Walaupun saat di rumah Fikri tak mampu
berdiri. Dia merangkak seperti bayi. Kembali teriris hati ini melihatnya, Tapi
Allah memberikan solusi. Akhirnya Fikri
bisa normal kembali ureumnya berkat
petunjuk teman herbalis dengan kosumsi rebusan daun suji dan beberapa
herbal pendampingnya. Fikri tak perlu lagi cuci darah. Ikhtiar medis sudah dilakukan, alternatif pun
sudah diupayakan. Penentu kesembuhan hanyalah Allah subhana wata’ala. Bersyukur
bertemu dan dikelilingi orang-orang baik serta medapat pelajaran berharga
sebulan tanpa keluarga di rumah sakit saat Ramadan dan Idul Fitri.***
Komentar
Posting Komentar