SEKOLAH DAN CINTA PERTAMAKU

 TULISAN KE-23

Sebelum aku mengenyam pendidikan di bangku sekolah formal, aku telah merasakan pendidikan yang gurunya luar biasa. Aku diberi kebebasan sesuai minat dan kesukaanku. Sekolah pertamaku yang asri, sejuk, nyaman, bersih dan segala fasilitas yang memudahkanku. Dididik oleh guru hebat, penuh kasih sayang yang tulus tanpa pamrih, Tak hanya itu, guru yang mau mendengarkan semua ceritaku, keluhanku bahkan tangisanku. Tak ada bentakkan, tak ada hardikkan dan, jauh dari kemarahan.

Sejak aku mulai bisa mengingat, ingatanku hanya tentang bahagianya di waktu kecil. Aku bukan anak semata wayang. Meski ada 5 kakak di atasku, kasih sayang ibu tak pernah hilang. Walaupun ibuku juga berdagang di pasar, namun perhatian dan kebutuhanku selalu tercukupi. Beliau tak kenal lelah. Sejak pagi menyiapkan sarapan, berangkat ke pasar untuk berjualan barang-barang kelontongan, hingga pulang masih harus menyiapkan makan siang. Tak cukup sampai di situ saja sore harinya juga kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Kemudian menemani kakak-kakak belajar dan beliau tidur paling larut untuk bangun lebih awal melakukan rutinitas kembali.

Sosok ibu tak pernah memperlihatkan kesusahan hidupnya. Meski barang dagangannya tak selalu laku. Pembeli yang hanya membawa barang karena belum mampu membayar. Modal yang mungkin ikut terkomsumsi sehingga harus mencari pinjaman modal ke koperasi atau pemilik barang.  Semua itu tak membuat ibu lantas mengeluh. Ibu tetap berwajah ceria di hapan anak-anaknya. Tetap meyiapkan menu makanan meski sederhana. Gaji ayah yang seorang abdi negara di SD hanya cukup membiayai kuliah dan sekolah kakak-kakakku.

Rutinitas yang kami jalani membuat aku bertambah ilmu dan kepandaian tanpa disadari. Saat duduk di bangku sekolah dasar aku sudah mulai belajar mandiri. Aku dididik untuk tidak manja minta untuk dilayani. Pagi ibu sudah berdagang di pasar sementara kakak-kakakku pun harus ke sekolah. Aku sudah menyiapkan segala keperluanku sendiri. Sekolahku pun tak jauh dari rumah sehingga aku bisa berangkat dengan berjalan kaki.

Ibuku bukan lulusan sarjana bahkan tak sampai mengenyam bangku SMA. Masa kecil yang tak bahagia membuat perjalanan pendidikan ibuku berantakan. Sejak SD sudah terenggut kebahagiannya karena kedua orang tuanya, yang  notabene kakek nenekku telah berpisah. Mereka masing-masing kemudian  menikah lagi.

Mungkin karena masa kecil yang sudah harus mengalami banyak kesedihan itulah membuat ibu berusaha agar anak-anaknya tak mengalami hal yang serupa. Beranjak remaja aku belajar memikul tanggung jawab di rumah. Sekolahku masuk shift siang. Pagi kakak-kakakku sekolah sementara aku mulai belajar memasak dan sedikit-sedikit mencuci pakaian. Tanpa merasa terbebani aku menjalani rutinitas baruku. Bumbu-bumbu beberapa  menu masakan aku catat di buku tulis. Setiap akan memasak aku buka contekan. Tanpa disadari aku kemudian hafal bumbu masakan itu. Aku juga mulai suka mencuci pakaian. Rasanya senang bisa melakukan pekerjaan rumah itu.

Ibuku sosok pekerja keras yang menginspirasi diriku. Menjadi seorang wanita yang tak hanya mengandalkan penghasilan suami meski ayahku pegawai negeri. Bukan karena tuntutan kebutuhan semata, tanpa jiwa kemandirian dan keinginan yang kuat untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, mungkin ibu hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Bagiku ibu luar biasa meski berdagang keliling dari pasar ke pasar, berteman dengan teriknya matahari, bersahabat dengan debu jalanan bahkan kadang akrab dengan hujan yang mengguyur tubuhnya.

Berdagang tak selamanya laris. Kadang ibu seharipun tak dapat pelaris. Miris rasanya. Sementara ibu harus mengeluarkan biaya untuk ongkos angkutan mobil yang membawa ibu dan barang dagangan. Belum untuk setoran karcis kebersihan pasar. Pun untuk makan ibu yang hanya membeli makan dengan menu sangat sederhana. Kemudian membeli bahan sayuran dan lauk  untuk makan di rumah dan sekadar jajan untuk buah tangan anak-anaknya.

Terima kasih yang tak terhingga untukmu, Ibu. Kasih sayang yang melimpah telah kau berikan hingga aku tak perlu mencari kasih yang lain. Sayangmu yang begitu dalam membuatku tenggelam dalam buaian hingga kebahagiaan menyelimuti hari-hariku. Kepribadianmu patut diteladani hingga anak-anakmu mengerti bertindak dan bertutur santun. Kobaran semangatmu telah melecut anak-anakmu untuk terus belajar dan menyelesaikan pendidikan dengan baik di sekolah.

Terima kasih telah menjadi ibu yang sabar menghadapi anak-anakmu dengan berbagai tingkah polahnya yang berbeda-beda. Menjadi perawat ketika aku sakit. Menjadi guru spiritual saat aku salah melangkah. Menjadi teman sejati saat aku butuh bicara. Kau selalu bisa memberi arahan dan jalan keluar saat aku gundah gulana banyak problema. Semuanya menjadi bekal hidupku di masa dewasa. Terima kasih Ibu sudah menjadi sekolah pertamaku.

Sebagai anak perempuan aku tumbuh remaja dan dewasa pun dalam pengasuhan ayah. Ayahku tipikal pendiam,  tak banyak bicara. Tapi bukan berarti tidak asyik untuk diajak ngobrol. Didikan kakek yang veteran zaman penjajahan Jepang membuat ayahku pun disiplin dan teratur segala sesuatunya. Beliau juga multi talenta. Tidak hanya menjadi abdi negara di sekolah dasar, beliau juga bisa elektronik dan fotografi. Waktu itu di desaku hanya beliaulah tukang foto orang menyebutnya. Dan karena keahliannya di bidang elektro juga membuat ayah kebanjiran orderan servis radio dan televisi.

Seperti ibu yang dagangannya belum tentu laku atau dibayar kontan, ayah juga demikian. Kadang orang jeprat-jepret banyak gaya tapi tidak ditebus. Jasa servis pun kadang hanya ucapan terima kasih. Semoga menjadi ladang amal bagi beliau. Sampai akhirnya kami harus pindah ke kota lain. Waktu itu kami dirampok. Entahlah, mungkin kami dianggap termasuk  orang kaya di kampungku. Sampai-sampai ada 8 orang mengepung dan masuk ke rumahku. Waktu itu aku masih kelas 3 SD. Setelah pindah rumah ayah tak lagi terima orderan foto dan servis elektronik.

Setelah pindah rumah ayah juga pindah tugas. Kesibukan ayah di sekolah semakin bertambah. Bukan hanya di SD yang hanya berjarak 3 kilo meter, tetapi juga di SMP swasta yang didirikan ayah bersama teman-temannya di kampung halamanku dulu. Pagi di SD siang di SMP swasta. Di SMP ayah mengajar bahasa Inggris. Setiap hari ayah pulang sore. Apalagi sejak ayah juga mengajar di SMA yang letakknya lebih jauh di desa lain. Bahkan kadang pulang sampai magrib. Semua dilakukan demi kami anak-anaknya dan demi kemajuan pendidikan di kampung halaman.

Terima kasih ayah yang sudah bekerja keras demi kami. Melindungi kami dari mara bahaya saat kami dirampok, sampai-sampai beliau terluka di dekat telinga karena terkena golok tajam. Mengajari kami kedisplinan. Mendidik ilmu agama karena ayah juga aktif di organisasi keagamaan dan masjid-masjid. Aku sering berdiskusi dengan ayah tentang ini shingga wawasan keagamaanku bertambah.

Bangganya aku memiliki ayah yang juga memberi teladan dan menginspirasiku. Aku meneruskan jejak ayah yang berkecimpung di bidang pendidikan. Melanjutkan kuliah di keguruan pun atas bimbingan ayah. Aku pun mengalami mengajar dibeberapa sekolah. Waktu itu aku masih menjadi tenaga honorer. Mengajar di tiga sekolahan cukup melelahkan. Aku bisa merasakan bagaimana lelahnya ayah dulu. Demi pengalaman aku senang menjalaninya. Hingga kemudian aku diangkat menjadi abdi negara juga setelah mengikuti tes berulang kali.

Bersyukur aku memiliki ayah dan ibu seperti mereka. Manusia tak ada yang sempurna. Kedua orang tuaku pun bukan tanpa  cacat dan cela. Namun, aku tak ingin mengenang itu. Tanpa perjuangan mereka aku dan kakak-kakakku tak akan menjadi seperti sekarang. Kesampingkan hal-hal yang yang dianggap tidak sesuai harapan. Kedepankan kebaikan yang sudah dilakukan akan membuat hati kita lebih ikhlas menerima keadaan dan bahagia selalu bisa dirasakan.

Maafkan aku ayah dan ibu jika belum membuat kalian bangga dan bahagia. Apalagi ayah sudah yang sudah tiada. Membuat aku begitu kehilangan. Beliaulah cinta pertamaku hingga aku tak menghabiskan waktuku untuk bersenang-senang dengan lawan jenis. Aku bisa selektif berteman. Dan memanfaatkan waktu mudaku dengan hal-hal bermanfaat. Itu karena ayah cukup memberiku cinta dan kasih sayangnya.

Maafkan aku yang pernah tak menuruti nasihat ayah dan ibu. Merasa pilihan diri sudah yang terbaik. Maafkan pula pernah berkata dengan nada tinggi sampai melukai hati. Kurang memberi perhatian yang cukup. Menghabiskan sebagian besar waktuku hanya untuk hal lain atau keluarga kecilku. Maafkan atas semua kesalahan yang pernah kulakukan. Tanpamu ibu, sekolah pertamaku dan tanpamu ayah, cinta pertamaku, aku takkan menjadi seperti saat ini.

Tuhan, kulantunkan doa setiap hari maafkan kesalahan mereka, sayangi mereka seperti mereka menyayangiku diwaktu aku masih kecil. Lapangkanlah kubur ayah, terimalah amal ibadah beliau. Kelak kumpulkan kami kembali di syurga-Mu.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJENAK MENGENANG BECAK

Kolesterol Perlu Dikontrol

Manfaat Marah Setelah Memaafkan