SEJENAK MENGENANG BECAK

 TULISAN KE-21

Pagi itu aku hendak mengambil kue pesananaku ke penjual kue di tikungan minimarket satu kilometer dari rumahku. Ada acara bimtek di sekolah selama tiga hari dan aku ditugasi untuk menyiapkan komsumsi bagi narasumber dan peserta bimtek. Hari itu aku memesan tiga jenis kue yaitu lemper, bolu, dan risol. Ditemani suami dan anak bungsuku kami bergegas ke tempat penjual kue dengan mengendarai sepeda motor. 

Mengingat jarak tempuh sekolahku yang cukup jauh dan memakan waktu 1,5 jam untuk sampai ke sana, pagi itu aku terburu-buru takut kesiangan. Aku mengambil kue pesannku sesuai jam yang sudah disepakati. Ternyata sesampainya di sana ada satu jenis kue  yaitu risol yang belum diantar oleh pembuat kuenya. Penjual kue di tikungan itu biasa menerima titipan kue dari para pembuat kue. Karena kuenya belum lengkap sementara aku harus segera berangkat ke sekolah, suami penjual kue itu akhirnya berinisiatif untuk mengambil langsung ke rumah pembuat kue risol. 

Cukup lama aku menunggu kedatangan kue risol itu. Sambil menunggu aku membeli kacang garing di minimarket dekat tikungan itu. Karyawan minimarket tampak masih membersihkan tempat dan mempersiapkan komputer. Di sini aku juga menunggu karena komputer baru saja dihidupkan maka belum bisa langsung  dioperasikan. Setelah selesai di minimarket aku kembali ke tempat penjual kue, ternyata kue risol masih belum datang. Selang beberapa detik kemudian suami penjual kue itu datang membawa risol.

Sejurus kemudian kami pulang. Baru beberapa menit motor melaju ban kendaraan yang kami naiki kempes. Ternyata bocor. Hari semakin siang. Aku gelisah karena temanku sudah menunggu di depan rumah ibuku untuk berangkat ke sekolah bersama. Ditengah kegelisahanku dari kejauhan tampak tetangga ibuku melaju mengayuh becaknya. Lek Yono namanya. Beliau hendak ke terminal, menarik penumpang di sana. Setelah dekat, aku menyetop becak lek Yono dan memintanya untuk mengantarku. Aku dan bungsuku dengan membawa bungkusan kue-kue melanjutkan perjalanan pulang dengan becak. Sementara suamiku melaju perlahan menuju tempat tambal ban dekat rumahku.

Bagi anak bungsuku, Raisha naik becak merupakan pengalamannya yang pertama. Bungkusan plastik besar berisi kue-kue aku letakkan di samping aku duduk dan di bawahnya. Raisha tampak tegang di duduk dipangkuanku karena takut jatuh. Namun, lama-lama dia dapat menikmati perjalanan di atas becak. 

Sedangkan bagiku naik becak pagi itu membawaku terbang ke masa lalu. Saat kuliah semester empat aku mulai sering ke kampus menaiki becak. Saat itu aku sudah mulai menjadi tenaga honor di sekolah swasta 300 meter dari rumahku. Pagi aku mengajar, siang aku kuliah. Untuk mengejar waktu sepulang sekolah aku naik angkot ke pasar. Setelah sampai aku melanjutkan perjalananku ke kampus dengan menumpang becak. Tak ada angkot dari pasar yang menuju ke kampus. Hanya ada becak atau abang ojek. Waktu itu ongkos naik ojek lebih mahal daripada naik becak. Karena hampir setiap hari aku ke kampus maka beberapa abang becak yang mangkal di pasar sudah paham jika setelah turun angkot aku naik becak mereka. Tanpa bertanya mau kemana becak yang membawaku sudah tahu tujuanku .Hanya dengan ongkos 1000 rupiah aku sudah sampai kampus waktu itu.

Hingga pada waktunya aku selesai kuliah, jika aku ke pasar hendak membeli sesuatu masih ada abang-abang becak yang menawariku naik becakknya dengan berteriak  "Kampus, kampus!" Aku hanya melirik sambil tersenyum. Mungkin mereka pikir aku masih belum selesai kuliahnya dan hendak ke kampus. Becak yang penuh kenangan, turut andil mengantarkanku pada proses menggapai cita-citaku sebagai guru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membiasakan Sarapan bagi si Kecil

Kolesterol Perlu Dikontrol